Peluru
Yang Diharap
Hasan menatap lamat foto ibunya yang kusam. Tak disadarinya air
matanya meleleh. Ini hari ketujuh ia dan adiknya Fatimah ditinggal ibunda
tercinta. Masih begitu segar dalam benak dan ingatannya ketika sang ibu
ditembak oleh junta militer. Masih segar dalam ingatannya jasad ibunya yang tak
menentu. Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat isi perut ibunya berhamburan
keluar. Waktu itu ia menangis meraung-raung. Apalagi Fatimah. Tapi Ustadz
Mahmud, guru mengaji mingguan Hasan menguatkanya. Sang Ustadz meyakini Hasan
bahwa kematian ibunya tak perlu disesali atau ditangisi. Karena Ibunya tidaklah
mati. Hal inilah yang menjadi spirit bagi Hasan dan Fatimah untuk terus bertahan
terus di camp demonstan. Baginya, tak ada guna pulang ke rumah. Ayah mereka
telah gugur saat revolusi tahun 2011 yang meruntuhkan rezim Mubarak. Jadi, tak
ada alasan baginya untuk pulang. Dirumah tidak ada ayah, tidak ada ibu. Tapi,
malam ini, kerinduan terhadap kedua orang tuanya tak dapat lagi dibendung.
Amarah berkecamuk di dadanya.
“ Akan ku balas kalian junta militer, aku takkan pulang sebelum
semuanya selesai!” pekiknya. Teriakkan Hasan yang tiba-tiba, membuat Fatimah
dan beberapa teman yang juga mengalami nasib sama terkejut. Lantas Fatimah
berlari memasuki tenda demonstran yang saat itu hanya berisi Hasan seorang.
“Kakak kenapa?” tanyanya kepada sang kakak.
Hasan hanya diam membisu. Sesekali sesegukan akibat tangisannya.
“Kakak, kenapa menangis?”. Hasan lantas memeluk adiknya erat-erat.
“ Kakak rindu sama ibu?”. Hasan hanya diam. Matanya menerawang
keluar. “Fatimah juga rindu sama ibu dan ayah,kak. Tapi, ingat kata Ustadz
Mahmud, kalau ayah dan ibu itu tidak mati. Mereka pasti sekarang sedang berduaan
di surga.” Hasan makin erat memeluk adiknya. Kemudian melepas pelukan.
“ Fatimah mau pulang apa tidak” tanya Hasan. Ia tatap adik semata
wayangnya itu lamat-lamat.
“ Fatimah tidak akan mau pulang, kak! Apapun yang terjadi!” tegas
Fatimah dengan penuh semangat.
“ Sungguh?”
“ Sungguh, kak! Memangnya wajah Fatimah bercanda”
Hasan terpana melihat sikap adiknya. Walaupun masih berusia enam
tahun, tapi semangat jihad adinya ini tak bisa dianggap remeh.
“ Kalau begitu, mari kita tos”. Kakak beradik ini saling tos lantas
tertawa.
“ Kita berjanji tidak akan pulang apa pun yang terjadi!”
Dan hari ini merupakan malam kesekian Hasan dan jutaan demonstran
lain berkumpul di Rab’ah Al- Adawiyah. Demonstran yang siap untuk menjadi
pelaku sejarah. Mereka bertekad tidak akan pulang ke rumah sampai keadilan yang
akan memulangkan mereka. Satu tuntutan besar mereka. Mengembalikan Presiden
Mursi yang terkudeta militer kembali berkuasa. Segala terror dan ancaman yang
dilayangkan oleh militer, tak sedikitpun membuat nyali mereka untuk berjihad
menuntuk keadilan surut. Namun sebaliknya, semangat mereka makin membara.
Seperti api yang disiram oleh bensin. Makin disiram makin membara.
Tembakan-tembakan yang dilakukan oleh pihak militer tak sedikit pun membuat
mereka takut mati. Tapi sebaliknya, matilah yang mereka cari. Sejak kemarin,
para demonstran terus menenteng kain kafan, menunjukkan mereka tak sedikitpun
takut mati. Mereka yakin benar, bahwa telah ada yang mengatur segala urusan
mereka, termasuk kematian.
Para demonstran rab’ah bukanlah orang-orang biasa. Mereka adalah
para ulama, ilmuwan, doctor, para pelajar yang jumlahnya jutaan. Dari seluruh
penjuru Mesir semuanya berkumpul untuk Mesir. Lebih dari itu, mereka berkumpul
demi kemuliaan Islam.
Nyaris semua demonstran memegang Mushaf Al-Qur’an. Diseluruh bagian
lapangan Rab’ah Al-Adawiyah yang terdengar hanyalah lantunan ayat suci. Berbeda
jauh dengan para demonstran pro kudeta. Disana-sini yang terdengar alunan musik
yang tak jelas. Seperti pesta di bar. Bahkan lebih dari itu, lapangan tempat
berkumpul pendukung kudeta disulap mereka menjadi sebuah tempat sex bebas.
Mereka nyaman melakukan semua itu berkat sokongan dan pengamanan dari militer
Mesir yang tak punya nurani.
Sementara, Demonstran Rab’ah mengisi hari-hari yang mereka lalui
dengan kegiatan yang bermanfaat demi mencari ridho Allah. Ketika Ramadhan
kemarin, diadakan berbagai macam perlombaan untuk anak-anak. Hasan yang ketika
itu mengikuti Lomba Tahfidz berhasil menjadi juara kedua.
Saat sholat berjamaah lima waktu, semuanya sholat. Jutaan
demonstran sholat berjamaah. Saat Ramadhan, terjadilah buka puasa dan sahur
bersama yang dihadiri jutaan jiwa. Nuansa persaudaraan begitu kuat tertancap
dihati jutaan demonstran ini.
Hal inilah yang membuat pemerintah illegal Mesir pimpinan Jendral
As-Sisi dan juga Kaum Sepilis (Sekuler, Pluralis,dan Liberalis) berang. Mereka
khawatir, bukannya jenuh dan bosan, para demonstran malah makin kerasan tinggal
disana. Maka, disusunlah rencana pembubaran demostran, yang malah menjadi
semacam genosida akibat perbedaan pandangan politik. Salah satu hal yang
As-Sisi lancarkan lewat kekuatan militernya adalah dengan Perang Psikologi
dengan jalan menakut-nakuti para demonstran dengan sesuatu yang membahayakan
keselamatan mereka. Strategi ini kurang ampuh untuk meracuni para demonstran
yang kuat imannya. Hanya beberapa demonstran ambigulah yang ketakutan mendengar
ancaman dan tipuan itu, lantas mereka mundur kebelakang.
Dan, malam ini, ketika Hasan dan Fatimah serta beberapa anak sedang
bermain petak umpet sembari menikmati indahnya malam di Rab’ah, agaknya perang
psikologi kembali dimainkan As-Sisi. Seorang lelaki paruh baya yang tak dikenal
datang mendekati kerumunan anak yang tengah girang tersebut. Ia lantas
memamanggil Hasan.
“ Hei, kau kemari sini!” teriak lelaki tersebut. Yang dipanggil
mendekat ke orang asing itu.
“ Iya, pak. Ada apa?” tanya Hasan dengan santai, karena malam ini
memang malam yang santai.
“Hei anak muda, kau disini dengan siapa ?”
“ Saya disini bersama adik saya, memangnya kenapa ?” tanya Hasan
penasaran.
“ Tidak apa-apa, mana adik kau sekarang ?”
“ Itu, yang pakai baju merah” Hasan menunjuk kearah Fatimah yang
sedang asiknya bermain, seolah lupa bahwa ia baru saja melihat ibunya ditembak
dengan mata kepala sendiri.
“ Mana orang tua kalian ?”
Mendengar pertanyaan itu, Hasan terdiam. Memori dalam otaknya
segera mengajaknya kembali kepada peristiwa terkelam dalam hidupnya. Ia ingat
bagaimana ayahnya tewas akibat tembakan yang menerjang dada kirinya di Tahrir Square
saat revolusi 2011. Dan yang teranyar, ia melihat langsung bagaimana kaki
ibunya ditembak oleh seorang prajurit militer, kemudian membelah perut ibunya
dengan cara tersadis. Lamunan kelamnya segera buyar ketika dibentak lelaki
asing.
“ Hei, kenapa kau melamun? Mana orang tua kau”
Mata Hasan berkaca-kaca. Lantas menjawab lirih sembari menunduk,
“ Saya dan adik saya telah yatim piatu, paman”
Lelaki asing terdiam. Air mukanya sama sekali tak menampilkan wajah
prihatin. Ia malah tersenyum sinis, lantas bertanya,
“Kapan ayah kau meninggal ?”
“Setahun lalu, saat revolusi”
Lelaki asing mengangguk-angguk. Masih tersenyum sinis. Kalau begini
misinya bisa dijalankan dengan mudah.
“ Lalu ibumu, kapan meninggal ?”
“ Seminggu yang lalu, karena disiksa oleh militer”
Lelaki asing itu menatap Hasan dengan mata yang dilindungi oleh
kaca mata hitam. Ditatapnya Hasan dengan tatapan tak bersahabat. Sangat tak
bersahabat. Ia tampak menahan sesuatu. Lantas bertanya lagi,
“ Hei anak muda, sekarang berapa umur mu?”
“ Empat belas”
“ Kau masih muda. Masih panjang jalan kau. Jadi ku sarankan, hargai
nyawamu. Jangan sia-siakan nyawa!” Lelaki asing menunjuk-nunjuk hidung Hasan
sambil tangan yang satunya lagi memegang pinggang.
“ Maksud paman apa ?”
Lelaki asing terdiam sejenak. Ia menarik nafas dalam-dalam dan
mengeluakannya dengan pelan. Ditatapnya sekeliling Rab’ah Al- Adawiyah yang
penuh dengan manusia dari segala kasta. Sebagian berkumpul sembari membaca
Al-Qur’an, sebagian lain beristirahat atau berbicara.
“Asal kau tau, ditempat ini besok akan terjadi tragedi besar. Akan
terjadi peristiwa yang berbahaya. Jadi jika kau ingin melihat masa depan,
pulanglah ke rumah mu, jangan berada disini, sudahi demonstrasi. Jika tidak,
kau akan bernasib sama dengan kedua orang tuamu, kusarankan jangan siakan
nyawamu!”.
Hasan terdiam. Hatinya bimbang. Ia memikirkan baik-baik apa yang
dikatakan oleh lelaki asing itu. Namun, tekadnya membara. Aku tidak boleh
pulang! Tidak ada alasan untuk pulang!
“ Maaf paman aku dan adikku tidak akan pulang !”
Tampak kekesalan terpancar diraut wajah lelaki asing itu. Ia
kembali memutar otak untuk menjalankan misinya.
“ Oh, kau akan dalam masalah besar. Apa kau mau, selongsong peluru
bersarang di tubuhmu. Entah di kepala, di dada, atau dimana saja. Apa kau mau
!?” bentak lelaki asing itu.
Bukannya ciut, malah adrenalin jihad Hasan makin membara. Lantas,
ia berkata mantap,
“ Itulah yang kucari paman. Aku mengharapkan peluru bersarang
ditubuhku. Cita-citaku mati syahid. Aku ingin seperti kedua orang tua ku!”
Lelaki asing terdiam. Terpaku dan membisu. Tangannya terkepal.
Kepalanya panas. Namun ia mencoba tetap kalem walau wajahnya tak dapat dapat
melakukannya.
“ Terserah kau! Aku sudah peringatkan. Jika terjadi sesuatu
terhadapmu aku tak mau tahu! Dasar anak sok hebat!”
“ Hidup matiku sudah ada yang mengatur, paman! Yang mengaturnya
adalah Allah Yang Maha Kuat, bukan paman!” balas Hasan mantap. Jiwa sang
idolanya yang bernama sama dengannya, Hasan Al-Banna terasa merasuki jiwa Hasan yang muda.
“ Diam kau! Jangan kau ajari aku tentang agama. Biarkan Syeikh
Al-Azhar saja yang mengajarkan agama! Kau jangan ikut-ikut!”
Dengan wajah amarah yang tak dapat disembunyikan, lelaki asing tadi
pergi meninggalkan daerah Rab’ah.
Hasan hanya bisa menggelengkan kepala. Bingung dengan apa yang
diinginkan lelaki asing yang tak pernah dilihatnya barang sekalipun. Waktu
terus berjalan. Malam mulai larut. Para demonstran mulai banyak yang tidur guna
mengisi energi mereka kembali. Demonstran yang lain memilih jaga malam. Hasan
memilih tidur. Dalam tidurnya ia bermimpi kembali berkumpul bersama keluarganya
disuatu tempat. Yang pasti tempat yang sangat indah.
***
Gema azan shubuh membangunkan Hasan. Ia langsung bersiap-siap untuk
mengikuti sholat jama’ah yang sangat luar biasa karena diikuti oleh jutaan
manusia yang menuntut keadilan dan hak yang dirampas.
Ketika keluar dari camp, Hasan mendengar banyak peserta demonstran
berbicar mengenai isu akan terjadinya serangan yang akan di lakukan oleh
militer terhadap peserta demonstran. Ada yang mengatakan itu kabar burung, ada
yang mengatakan itu kabar benar. Tapi komentar mereka semua sama, “ Tidak ada
alasan untuk pulang! Mati syahid adalah cita-cita kita!”. Bahkan banyak yang
telah menyelendangkan kain kafan di leher mereka, tanda mereka siap mati.
Sholah Shubuh berjama’ah pun dimulai. Seluruh jama’ah menjalaninya
dengan khusyuk, berita bahaya yang mereka terima tak membuat mereka kehilangan
kekhusyukan untuk beribadah kepada Sang Penggenggam nyawa.
Namun, saat rakaat kedua, Hasan berwaspada. Dan mungkin juga
dilakukan oleh demonstran yang lain. Bukan tanpa alasan mereka waspada. Karena
sudah dua kali serangan yang dilakukan oleh militer terhadap jama’ah Sholat
Shubuh dilakukan saat rakaat kedua. Namun, sampai sholat selesai tak ada
peristiwa yang berbahaya. Selepas sholat, jama’ah Sholah Shubuh berdo’a bersama
agar diberikan keselamatan, dan meminta dua pilihan kepada Allah SWT, Hidup
mulia, atau Mati syahid.
Matahari mulai tinggi, para demonstran mulai melakukan kegiatan
seperti biasa. Tak ada peristiwa yang harus ditakutkan.
Sementara Hasan masih berdiam di dalam camp. Dibacanya lantunan
ayat suci dengan merdu. Sementara Fatimah memilih bermain masak-masakan dengan
teman-temannya. Ancaman lelaki asing sampai sekarang tak terbukti. Tak ada kekacauan,
tak ada kerusuhan.
Namun, satu jam lewat beberapa menit kemudian, yang dikhawatirkan
pun tiba. Apa yang dikatakan lelaki asing benar-benar terjadi. Teriakkan
demonstran terdengar dimana-mana. Hasan yang baru saja menyelesaikan satu juz
Al-Qur’an tersentak. Ia melihat keluar. Suasana sangat kacau. Dilihatnya asap
membumbung disegala sisi Rab’ah. Aroma mesiu menusuk-nusuk hidungnya. Hasan
lantas siaga. Ia teringat Fatimah. Dimana anak itu. Tadi ia melihatnya tengah
asyik bermain di depan camp. Tapi, sekarang mana? Jantung Hasan berdetak
kencang. Kini, hanya ada dua pilihan terhampar di depannya, hidup mulia, atau
mati syahid. Namun, ia saat ini mencium harum wangi surga, bukan wangi dunia.
Lantas, ia berlari keluar camp. Seorang petugas medis memberikannya masker anti
gas air mata dan gas beracun Made In Israel yang kemarin ia temukan bersama
temannya.
Suasana makin kacau balau, Hasan sempat melihat camp tempat ia
tidur terbakar .Teriakkan takbir dimana-mana diselingi dengan suara tembakan
dan ledakan. Hasan seperti melihat film perang yang pernah ia tonton bersama
ayah,ibu,dan adiknya di bioskop dua tahun silam. Saat itu ia hanya menjadi
penikmat sejarah. Namun hari ini ia adalah bagian dari pelaku sejarah. Ia mulai
melihat mayat-mayat bergelimpangan disana sini. Ia juga sempat menangkap
gelagat militer yang membakar hidup-hidup seorang demonstran. Inikah yang
disebut pembubaran demonstran, bukankah ini sebuah genosida?
“ Tar,tar,tar,tas,cetar,dor” suara tembakan saling sahut menyahut.
Hasan terus berlari mencari adiknya yang entah kemana. Dan itu dia. Itu dia
Fatimah. Ia sedang bersembunyi di balik sebuah gerobak. Jarak antara Hasan dan
Fatimah sekitar lima ratus meter. Maka, tanpa pikir panjang Hasan langsung
berlari sekencang mungkin menuju tempat persembunyian Fatimah. Namun, tinggal
sekitar seratus meter…
“ Tarrrrrr”. Paha Hasan terasa ngilu. Sangat ngilu. Ia tak dapat
berlari lagi. Ia terjatuh menimpa sebuah mayat dengan kondisi yang sangat
memprihatinkan. Paha Hasan tertembak. Ia tak dapat melihat Fatimah lagi.
Tak lama berselang, dua orang petugas medis mengangkat Hasan yang
tengah meringis kesakitan. Hasan lantas ditandu, dan langsung dimasukkan ke
ambulance yang kemudian membawanya ke Rumah Sakit Rab’ah. Di dalam ambulance,
terdapat banyak mayat dan korban luka parah. Semuanya bertumpuk dalam satu
ruangan ambulance yang kecil dan pengap.
Keadaan di rumah sakit juga tak kalah kacau. Para dokter dan
petugas medis yang ada kewalahan melayani korban akibat kekerasan junta militer
yang tak beradab. Mereka kesulitan memisahkan mana korban yang masih hidup,
mana yang sudah meninggal. Hasan ditandu menuju suatu ruangan yang mungkin
ruangan pers. Disitu sudah seperti kolam darah yang dipakai berenang oleh
mayat-mayat dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Otak terburai keluar.
Usus dan lambung yang juga demikian. Namun, lihat bibir-bibir mereka. Semuanya
tersenyum.
Hasan tergeletak di sudut ruangan tersebut, disekelilingnya semua
mayat. Hasan menahan rasa sakit yang teramat dipaha kanannya. Sebutir peluru
tampaknya masih bersarang di pahanya. Inilah peluru yang ia harapkan. Wangi
harum semerbak surga semakin tercium olehnya. Dilihatnya ayah dan ibunya tengah
duduk berdua di taman yang sangat indah.
Tak lama kemudian, seorang dokter datang ke ruangan tersebut. Ia
tampak mencari korban yang masih hidup. Dan tampaknya tinggal Hasan yang masih
bernafas.
“ Saya masih hidup dokter!” teriak Hasan dengan susah payah. Dokter
tersebut langsung melirik kearah yang memanggil.
“ Saya akan membantu anda!” Dokter itu lantas menuju tempat Hasan
tergeletak.
“ Apa yang kau rasakan sekarang,nak?” tanya dokter itu dengan wajah
yang dipaksakan tenang.
“ Sa..saya mencium wangi surga” jawab Hasan dengan terbata-bata.
Dokter tersebut terpana mendengar jawaban Hasan. Matanya berkaca-kaca.
Tampaknya ia juga ingin mencium wangi surga.
Namun, sesaat kemudian
terdengar suara, “Tuk,tak,tuk”. Terdengar seperti suara langkah. Makin lama
suara itu makin terdengar . Dan ternyata itu adalah seorang anggota junta
militer. Ia berteriak keras “ Semua dokter harus keluar dari rumah sakit atau
kami tembak”. Dan ia menemukan dokter yang sedang merawat Hasan.
“ Hei, kau dokter! Pergi kau! Keluar dari sini cepat!”
Namun sang dokter tak berkilah. Ia terus merawat Hasan yang makin mencium semerbak harumnya surga.
Prajurit militer itu lantas mendekat dokter dan memukulnya
kuat-kuat. Sang Dokter terjatuh karena pukulan tersebut.
“ Rasakan itu! Sekarang keluar”
Dokter itu tetap diam. Kemudian seorang prajurit militer lainnya
melewati ruangan itu.
“ Gamal, sini kau! Kau bawa dokter ini keluar lalu siksa dia!”
perintah prajurit yang berada didalam ruangan.
Prajurit itu lantas menyeret dokter, sambil memukulinya. Kini
tinggal Hasan dan seorang prajurit yang berada di ruangan. Tak lama berselang
terdengar derap langkah beserta jeritan yang bagi Hasan merupakan suara yang
tak asing lagi ditelinganya. Dan kemudian muncullah sesosok junta militer yang
bersamanya ada seorang anak perempuan.
“ Fatimah…?” teriak Hasan
“ Kakak…” balas Fatimah
Hasan terbelalak melihat wajah adiknya yang lebam. Hasan lantas
berteriak sekuat tenaga, “ Hei, junta militer lepaskan adikku silahkan kau
siksa aku, tapi jangan kau siksa adikku.
“ Naser, jangan kasih ampun! Kalau perlu bunuh saja!” seru prajurit
militer yang berada di dekat Hasan.
“ Baik Sadat!”
“ Jangan…!” teriak Hasan melihat junta militer yang di bajunya
tertulis nama Faruq Naser mendekatkan sebuah pisau dileher Fatimah yang
mulutnya telah ia sumpal.
“ Diamkau!” bentak junta militer yang dibajunya tertulis nama Sadat
Mubarak. Dan tanpa ampun Naser..
“srksrk”
Dengan hati nurani yang entah kemana, Naser menggorok leher Fatimah
dengan sadisnya. Darah mengucur kemana-mana. Fatimah tak dapat melakukan
apa-apa. Ia hanya dapat menggapai takdirnya.
Hasan berteriak, “ Jangan bunuh adikku, jangan bunuh adikku, bunuh
saja aku, biarkan dia hidup !”
Namun, nasi sudah menjadi bubur. Fatimah telah tergeletak. Agaknya
nyawanya telah melayang setelah sempat menggelepar beberapa kali. Kepalanya
nyaris putus dengan badanya.
Untuk ketiga kalinya dalam kurun waktu dua tahun Hasan melihat
pemandangan mengerihkan semacam ini. Sialnya, anggota keluarganyalah yang
mengalaminya. Ayahnya, kemudian ibunya, dan sekarang ia menjadi saksi bagaimana
Fatimah dibunuh dengan cara tak beradab seperti ini.
Kini, Hasan melihat Fatimah bergabung dengan kedua orang tuanya. Ia
lihat ayah dan ibunya memeluk Fatimah. Raut wajah mereka bahagia. Mereka duduk
bersantai-santai dengan buah-buahan diselilingnya. Mereka kenakan pakaian yang
sangat indah.
“ Adikkau sudah mati! Sekarang gilirankau!” bentak Sadat. Tak ada
perasaan takut sedikitpun di wajah Hasan. Justru ia memang berharap ditembak
dan ingin berkumpul bersama keluarganya.
“ Hei anak muda ! Siapa nama kau ?” bentak Naser yang tangannya
berlumuran darah Fatimah.
“ Aku Hasan !”
Sadat menginjak perut Hasan. Sementara Naser menatapnya dengan
galak. Lantas, ia kembali berkata,
“ Nama kau saja sudah menunjukkan bahwa kau anak ikhwan !”
“ Itu benar ! Aku adalah bagian dari Ikhwanul Muslimin !” jawab
Hasan dengan gagah. Wangi surga makin semerbak di hidungnya.
“ Puk, puk” Sadat dengan garangnya menendang kepala Hasan, ketika
mendengar jawaban itu.
“ Kau mau mati ?” tanya Naser
“ Itu yang kuinginkan, mati syahid!”
“ Puk,puk” Sadat kembali menendang kepala Hasan sampai lembam. Tak
ada sedikit pun rasa gentar di wajahnya. Wangi surga makin semerbak di
hidungnya.
“ Heh, anak kecil! Untuk apa kau ikut demonstasi?”
“ Untuk mengembalikan Presiden Mursi ke Istana Ittihadiyyah!”
“ Puk,puk”
“ Itu tak akan terjadi selama ada militer!” bentak Naser
“ Itu akan terjadi karena ada Allah !” jawab Hasan lantang. Wangi
surga makin smerbak di hidungnya.
“ Puk,puk”
“ Apa tujuan kau kemari ?” bentak Naser.
“ Allah Ghoyatuna ! Allah tujuan kami !”
“ Puk,puk” wajah Hasan makin tak karuan karena tendangan Sadat.
“ Siapa yang kau teladani sehingga kau kemari ?”
“ Arrosullu Qudwatuna ! Rasulullah teladan kami !”
“ Puk,puk” Wangi surga makin
semerbak di hidung Hasan.
“ Berpedoman dengan apa kau sehingga mau ikut kemari?” Naser terus
mengintrogasi Hasan yang membuat Hasan makin bersemangat meraih syahid
“ Al-Qur’an Dusturuna ! Al- Qur’an pedoman hidup kami !”
“ Puk,puk” Wajah Hasan makin lebam tak karuan. Darah mulai mengucur
di wajahnya.
“ Apa jalan hidup kau sehingga kau ikut demonstrasi ?”
“ Al Jihadu Sabililuna! Jihad adalah jalan hidup kami !”
jawabnya dengan lantang. Rasa sakit akibat tembakan tadi terbakar oleh
semangatnya.
“ Puk,puk” Sadat dengan beringas terus menendangi Hasan jika ia
berbicara.
“ Sebenarnya apa yang kau cari dan kau inginkan disini ?”
“ Al Mautu fi Sabilillah, Asma amanina ! Mati dijalan Allah
adalah cita-cita kami tertinggi !”
“ Puk,puk” darah semakin mengucur di wajah Hasan. Wangi surga makin
semerbak di hidungnya.
“ Ah, dasar kau anak Ikhwan !” teriak Naser sembari meletakkan kaki
kanannya di jidat Hasan yang bercucuran darah.
“ Kau ini sebetulnya siapa ?” tanya Naser beringas
“ Akulah petualang yang mencari kebenaran, mencari makna serta
hakikat kemanusiaanya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang
menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi
tanah air di bawah naungan Islam yang hanif” jawab Hasan dengan lantang
mengutip perkataan idolanya , Imam Syahid Hasan Al- Banna.
“ Dasar kau anak Ikhwan” pak,puk,pak. Naser dan Sadat menendangi
Hasan dengan cara yang mengerihkan. Tampak kedua junta militer ini menyiapkan
senjata laras panjang yang mereka tenteng sejak tadi. Senjata yang telah banyak
membunuh manusia-manusia yang terdzolimi.
Wangi surga makin semerbak di hidung Hasan. Dilihatnya keluarganya
yang tengah bersantai di suatu taman yang indah. Tapi, mereka tampak menunggu
sesuatu. Sadat dan Naser menempelkan corong senjata mereka ke kepala sisi kanan
dan kiri Hasan. Melihat itu Hasan berteriak kencang,
“ Hasbunallah Wa nikmal Wakil, Nikmal Maula Wa nikman Nasir! La
Ilaha Illallah, Muhammadar Rasulullah ! Allahu Akbar !” Hasan makin mencium
wangi surge, dan makin merasa dekat dengan keluarganya.
Mendengar itu Naser dan Sadat saling bersitatap. Naser berteriak
kencang,
“ Dasar kau anak Ikhwan !”
Sadat memberi kode satu, dua, tiga. Kedua junta militer ini
mengokang senjata mereka, menempelkannya ke kedua sisi kepala Hasan, lantas….
“ Tar, tar”
Dua tembakan itu cukup membuat isi kepala Hasan terburai. Otaknya
keluar tak menentu. Hasan telah menggapai takdir dan cita-citanya sebagai
syuhada muda. Kini, ia telah berkumpul kembali bersama keluarganya. Ia kembali
bertemu ayahnya yang penuh kasih, ibunya yang penuh perhatian, dan adiknya
Fatimah. Kini, wangi surga sudah benar-benar ia rasakan. Walaupun kepalanya
pecah dan otaknya terburai, namun lihatlah bibirnya. Senyuman bahagia merekah
dibibirnya seakan tanda ia bahagia bertemu keluarganya dan seakan mengolok dua
junta militer yang menembakkanya dengan berkata, “ Jangan kau kira aku ini
mati, jangan kau anggap aku telah tiada. Tapi aku bergelimpangan rezeki di sisi
Allah SWT”
Sementara Naser dan Sadat, dua junta militer itu berteriak girang,
“ Ha,ha,ha. Rasakan itu. Jangan coba-coba melawan kami! Akan kami
habisi kalian Ikhwan !”
Mereka lantas keluar ruangan yang penuh mayat tak beraturan itu.
Dan sebelum keluar, mereka melemparkan sesuatu mirip korek api. Api lantas
berkobar membakar mayat-mayat itu. Sudah dibunuh dibakar lagi. Benar-benar tak
punya hati. Darah merah yang tergenang di lantai putih, ditambah warna hitam
akibat mayat yang terbakar, membuat konfigurasi seperti bendera Mesir, merah,
putih, hitam.
Sadat dan Naser buru-buru berlari keluar rumah sakit, karena
sebentar lagi seluruh rumah sakit akan terbakar. Mereka berlarian sambil melompat-lompat
kegirangan sambil berteriak-teriak,
“ Jenderal As-Sisi berkuasa, Amerika bahagia, Israel berjaya !”
Namun, tinggal beberapa langkah lagi keluar rumah sakit, Sadat dan
Naser merasa ada yang memukul mereka dengan sangat kuat dari arah belakang.
Sejenak mereka melihat kebelakang, tak ada siapa-siapa. Mereka terjatuh di
lantai lobi rumah sakit. Kemudian mereka digiring kepada sesuatu yang tak
pernah terbesit di hati dan pikiran mereka. Mereka bingung harus berkata apa.
Karena waktu serasa selalu berjalan sia-sia….
Indonesia, Negeri yang militer dan polisinya baik, 23 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar